Bali Sudah Cukup Dengan Kealamiannya
Belakangan ini timeline saya di facebook penuh postingan tolak reklamasi teluk benoa. Selain teman di facebook saya banyak orang bali, karena saya pernah tinggal di Bali kurang lebih setahun. Saya pun juga berteman di facebook dengan beberapa senior aktivis gerakan '98. Sewaktu saya aktif di gerakan mahasiswa kami berada di bawah asuhan senior-senior ini. Oleh karena itu teman-teman seangkatan sewaktu masih di gerakan dulu banyak juga yang share dan berpendapat mengenai isu tolak reklamasi teluk benoa ini.
Secara personal, isu ini menjadi penting buat saya. Saya pernah tinggal di Bali kurang lebih selama setahun. Mulai dari belajar surfing sampai mancing dengan nelayan setempat pernah saya lakukan. Laut Bali sangat besar kontribusinya bagi pengalaman seru saya di Bali yang tidak mungkin saya lupakan. Dengan sadar pun saya ikut Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
Dari website www.forbali.org mereka secara rinci menjelaskan alasan kenapa harus tolak reklamasi teluk benoa. Pastinya adalah kerusakan lingkungan yang parah mengancam apabila reklamasi ini terus dilanjutkan. Bayangkan saja rencana reklamasinya ini seluas sekitar 700 hektar!!
Sayangnya gerakan menolak reklamasi teluk benoa ini diwarnai konflik kriminalisasi aktivis yang paling bersuara lantang menolak reklamasi teluk benoa, yaitu Gendo sebagai koordinator umum ForBali, oleh seorang mantan aktivis gerakan 98 sekaligus anggota DPR RI, Adian Napitupulu, yang mendukung proses reklamasi teluk benoa. Aksi seorang Adian Napitupulu menciderai sebagian aktivis '98 dan aktivis gerakan lainnya. Bahkan banyak juga yang menuliskan kalimat-kalimat pedas seperti ini,
Dulu pro demokrasi, sekarang pro reklamasi.
Dulu teriak reformasi, sekarang teriak rantang nasi.
Dulu anti diktator, sekarang pro investor.
Merintih ketika ditekan, menindas ketika berkuasa.
Saya pribadi tidak mau masuk dalam isu konflik horisontal seperti ini. Antara Gendo vs Adian atau ForBali vs Pospera. Saya tidak mau terjebak di dalam konflik ini. Isu ini memang menjadi penting buat saya, karena saya pengagum Pulau Dewata. Betapa laut Bali begitu saya kagumi. Bukan hanya laut tetapi budaya di Bali selalu menjadi pesona baik bagi turis lokal maupun turis asing.
Saya hanya punya pemikiran sederhana kenapa saya harus menolak reklamasi teluk benoa. Saya memikirkan nasib para surfer, para instruktur surfing yang kesenangan sekaligus hidup mereka bergantung ombak pantai. Bagaimana jika ombak yang menjadi tantangan mereka sudah tidak ada lagi atau kualitas ombaknya menjadi buruk. Bukankah Bali menjadi destinasi bagi para turis baik lokal maupun asing yang berburu ombak untuk olahraga selancar? Bukankah Bali juga pernah menjadi tuan rumah Asean Beach Games pertama pada tahun 2008, dengan Surfing sebagai salah satu olahraga andalannya?
Lalu bagaimana dengan para nelayan? Saat saya di Bali saya kenal dengan Pak Wayan nelayan yang tinggal di Pantai Kusamba. Sangat ramah sekaligus ekstrim. Pak Wayan membawa saya memancing sekaligus berpetualang seru dari Pantai Kusamba, ke Nusa Penida bahkan lebih jauh lagi. Bersama Pak Wayan juga saya diajak ke tempat dimana saya untuk pertama kalinya melihat Ikan Manta berada di permukaan laut dan itu sangat besar. Padahal hal itu jarang sekali terjadi. Ikan Manta sering terlihat di bawah laut tapi untuk berada di permukaan laut adalah hal yang jarang terjadi. Pada saat itu Pak Wayan dengan beraninya mendekatkan perahunya dengan ikan manta tersebut agar saya dapat melihat dengan jelas, padahal di saat yang sama saya pun juga sedikit ngeri.
Begitu juga Pak Wayan menunjukkan saya tentang ikan mola-mola atau sunfish yang sedang menyemburkan air ke permukaan. Saat itu kami tidak sempat melihat ikan mola-mola dari dekat seperti ikan manta, tapi dari sirip yang dipamerkan oleh ikan mola-mola kami langsung tahu bahwa pasti ukurannya sangat besar.
Yaa.. bagaimana nanti nasib Pak Wayan nelayan yang baik hati itu kalau reklamasi dilakukan, Bagaimana dia bisa memancing ikan sebanyak dulu kalau lingkungan bawah lautnya rusak, bayangkan 700 hektar laut akan diurug.
Lalu bagaimana kami yang ingin menikmati keindahan alam laut Bali? Bagaimana kami bisa menikmati pemandangan terumbu karang yang indah? Kalau reklamasi itu terjadi, terumbu karang pun akan mati.
Untuk apa ada pulau baru lagi yang memberikan keindahan palsu (buatan) bukan yang alami?? kami para wisatawan datang ke Bali untuk menikmati kealamian Bali, spiritualitas Bali yang begitu kental. Kami datang ke Bali untuk ombaknya, untuk pantainya, untuk candi dan pura nya, untuk lukisan serta ukiran khas Bali, untuk makanan khas Bali, untuk keramahan orang-orang Bali, untuk upacara adat yang menarik dari Bali, dan semua yang asli Bali. Kami tidak datang untuk hotel-hotel megah dan pusat perbelanjaan yang semuanya berbau western. Kami mau Bali kami alami, karena itulah Bali yang seharusnya.
Secara personal, isu ini menjadi penting buat saya. Saya pernah tinggal di Bali kurang lebih selama setahun. Mulai dari belajar surfing sampai mancing dengan nelayan setempat pernah saya lakukan. Laut Bali sangat besar kontribusinya bagi pengalaman seru saya di Bali yang tidak mungkin saya lupakan. Dengan sadar pun saya ikut Menolak Reklamasi Teluk Benoa di Bali.
Dari website www.forbali.org mereka secara rinci menjelaskan alasan kenapa harus tolak reklamasi teluk benoa. Pastinya adalah kerusakan lingkungan yang parah mengancam apabila reklamasi ini terus dilanjutkan. Bayangkan saja rencana reklamasinya ini seluas sekitar 700 hektar!!
Sayangnya gerakan menolak reklamasi teluk benoa ini diwarnai konflik kriminalisasi aktivis yang paling bersuara lantang menolak reklamasi teluk benoa, yaitu Gendo sebagai koordinator umum ForBali, oleh seorang mantan aktivis gerakan 98 sekaligus anggota DPR RI, Adian Napitupulu, yang mendukung proses reklamasi teluk benoa. Aksi seorang Adian Napitupulu menciderai sebagian aktivis '98 dan aktivis gerakan lainnya. Bahkan banyak juga yang menuliskan kalimat-kalimat pedas seperti ini,
Dulu pro demokrasi, sekarang pro reklamasi.
Dulu teriak reformasi, sekarang teriak rantang nasi.
Dulu anti diktator, sekarang pro investor.
Merintih ketika ditekan, menindas ketika berkuasa.
Saya pribadi tidak mau masuk dalam isu konflik horisontal seperti ini. Antara Gendo vs Adian atau ForBali vs Pospera. Saya tidak mau terjebak di dalam konflik ini. Isu ini memang menjadi penting buat saya, karena saya pengagum Pulau Dewata. Betapa laut Bali begitu saya kagumi. Bukan hanya laut tetapi budaya di Bali selalu menjadi pesona baik bagi turis lokal maupun turis asing.
Saya hanya punya pemikiran sederhana kenapa saya harus menolak reklamasi teluk benoa. Saya memikirkan nasib para surfer, para instruktur surfing yang kesenangan sekaligus hidup mereka bergantung ombak pantai. Bagaimana jika ombak yang menjadi tantangan mereka sudah tidak ada lagi atau kualitas ombaknya menjadi buruk. Bukankah Bali menjadi destinasi bagi para turis baik lokal maupun asing yang berburu ombak untuk olahraga selancar? Bukankah Bali juga pernah menjadi tuan rumah Asean Beach Games pertama pada tahun 2008, dengan Surfing sebagai salah satu olahraga andalannya?
Lalu bagaimana dengan para nelayan? Saat saya di Bali saya kenal dengan Pak Wayan nelayan yang tinggal di Pantai Kusamba. Sangat ramah sekaligus ekstrim. Pak Wayan membawa saya memancing sekaligus berpetualang seru dari Pantai Kusamba, ke Nusa Penida bahkan lebih jauh lagi. Bersama Pak Wayan juga saya diajak ke tempat dimana saya untuk pertama kalinya melihat Ikan Manta berada di permukaan laut dan itu sangat besar. Padahal hal itu jarang sekali terjadi. Ikan Manta sering terlihat di bawah laut tapi untuk berada di permukaan laut adalah hal yang jarang terjadi. Pada saat itu Pak Wayan dengan beraninya mendekatkan perahunya dengan ikan manta tersebut agar saya dapat melihat dengan jelas, padahal di saat yang sama saya pun juga sedikit ngeri.
Begitu juga Pak Wayan menunjukkan saya tentang ikan mola-mola atau sunfish yang sedang menyemburkan air ke permukaan. Saat itu kami tidak sempat melihat ikan mola-mola dari dekat seperti ikan manta, tapi dari sirip yang dipamerkan oleh ikan mola-mola kami langsung tahu bahwa pasti ukurannya sangat besar.
Yaa.. bagaimana nanti nasib Pak Wayan nelayan yang baik hati itu kalau reklamasi dilakukan, Bagaimana dia bisa memancing ikan sebanyak dulu kalau lingkungan bawah lautnya rusak, bayangkan 700 hektar laut akan diurug.
Lalu bagaimana kami yang ingin menikmati keindahan alam laut Bali? Bagaimana kami bisa menikmati pemandangan terumbu karang yang indah? Kalau reklamasi itu terjadi, terumbu karang pun akan mati.
Untuk apa ada pulau baru lagi yang memberikan keindahan palsu (buatan) bukan yang alami?? kami para wisatawan datang ke Bali untuk menikmati kealamian Bali, spiritualitas Bali yang begitu kental. Kami datang ke Bali untuk ombaknya, untuk pantainya, untuk candi dan pura nya, untuk lukisan serta ukiran khas Bali, untuk makanan khas Bali, untuk keramahan orang-orang Bali, untuk upacara adat yang menarik dari Bali, dan semua yang asli Bali. Kami tidak datang untuk hotel-hotel megah dan pusat perbelanjaan yang semuanya berbau western. Kami mau Bali kami alami, karena itulah Bali yang seharusnya.
Komentar
Posting Komentar