Mahasiswa Yang Kecewa

Jumat malam minggu lalu, ada hal yang menarik di dalam kelas perkuliahan saya. Terjadi perdebatan soal cagub dan cawagub DKI Jakarta antara mahasiswa dengan dosen yang menurut saya kurang seru. Saya katakan kurang seru karena perdebatan yang terjadi bukan pada kinerja cagub tapi lebih menyerempet SARA. Saya katakan ini menarik karena hal in terjadi di proses belajar mengajar di perguruan tinggi (Universitas). Ini pengalaman pertama saya menyaksikan perdebatan aneh ini.

Saya lupa bagaimana perdebatan ini terjadi, seingat saya seorang teman yang beragama Muslim menyatakan pendapat bahwa dia akan memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2017 nanti. Mendengar itu, dosen saya memberi pendapat bahwa memilih pemimpin non-Muslim berlawanan dengan perintah Allah. Mendengar peryataan itu saya langsung tersenyum menanti kelanjutan perdebatan ini.

Dosen saya menghimbau bagi yang beragama Muslim untuk memilih calon pemimpin beragama Muslim, siapapun dia asalkan Muslim. Teman saya mencoba mempertahankan pendapatnya tentang Ahok, teman saya juga sempat berkata misalkan dia pilih Ahok dia yakin Allah akan memaklumkan karena buat dia, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Tetapi dosen saya juga mengingatkan kepada teman saya bahwa Allah juga Maha Adil. Hmmm.. pernyataan dosen saya ambigu nihh..

Tanpa menjelaskan apa yang dia maksud dengan "Allah juga Maha Adil", dosen saya melanjutkan kembali pernyataannya, bahwa bukan hanya soal perintah Allah untuk tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin, tapi juga soal nasionalisme. Menurutnya Indonesia harus dipimpin oleh orang Indonesia asli. Bukan dipimpin oleh aheng-aheng. 

Mendengar perdebatan yang kurang pintar itu membuat saya melongok tidak percaya kalau ini terjadi di institusi pendidikan tinggi. Saya mencoba mencerna semua perdebatan ini. Tapi semakin saya mencoba mencerna perdebatan itu, semakin saya tidak menemukan sisi akademisnya. Menurut saya ada banyak hal yang perlu dikritisi soal perdebatan itu.

1. Menurut saya, perdebatan soal pemimpin daerah yang terjadi di dalam kelas kuliah seharusnya berdasarkan kepada teori-teori ilmu komunikasi (kami adalah mahasiswa Fikom, S1). Terlebih lagi yang berdebat ini adalah seorang dosen dan mahasiswa. Alangkah lebih bijaknya seorang dosen ini mampu mengkonstruksi cara pandang mahasiswa yang berdebat dengannya berdasarkan teori-teori yang dia ajarkan. Dosen seharusnya bertanggung jawab atas perdebatan yang substansial. Terlebih lagi saya memandangnya bahwa pengertian Tuhan dan agama yang disampaikan oleh dosen saya itu sangat sempit. Ditambah pula mengartikan nasionalisme yang juga sama sempitnya. Apakah perdebatan yang terjadi antara mahasiswa dengan dosen seperti itu mendidik mahasiswa lebih kritis terhadap suatu ilmu?

2. Saya ingat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu:
- Pendidikan dan Pengajaran
- Penelitian dan Pengembangan
- Pengabdian Kepada Masyarakat. 
Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi dan penelitian, artinya mahasiswa dituntut untuk mampu bersikap kritis akan kehidupan sekitar, bukan eksklusif sehingga mengkotakkan diri. Sebagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, seharusnya kegiatan belajar mengajar untuk mahasiswa harus berlandaskan kepentingan Indonesia yang beraneka ragam.

3. Bukankah Pancasila pada sila pertama jelas bunyinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan keagamaan yang maha esa. Indonesia ini adalah Negara Pancasila. Sekali lagi saya harus mengingatkan bahwa Negara Indonesia ini bukan milik suatu golongan saja. Indonesia juga negara Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu jua). Apakah seorang dosen saya itu pantas disebut pendidik, kalau caranya berdebat justru semakin mengkotak-kotakan manusia berdasarkan agama dan ras yang hal itu sama sekali tidak sesuai dengan Pancasila?

4. Saya teringat oleh kata-kata Soekarno yang bilang bahwa Agama tanpa pendidikan itu bahaya. Saya rasa seorang yang mampu menjadi dosen adalah orang yang berpendidikan, dan saya percaya sekali kalau dia beragama. Tetapi kenapa justru pernyataannya membahayakan bagi ke-Bhineka-an Indonesia??

5. Bukankah Presiden ke 4 kita, Gus Dur sudah memperjuangkan pengakuan atas etnis Tionghoa bagian dari warga Negara Indonesia yang memiliki posisi sama seperti etnis Jawa, Batak, Manado, dan lain-lain, sehingga masyarakat etnis Tionghoa memiliki hak yang sama dalam bernegara, baik untuk berpolitik, ekonomi, pendidikan, sosial bahkan bergama. Lalu pernyataan dosen saya soal nasionalisme, nasionalisme seperti apa? apakah nasionalisme yang memecah bangsa? apakah dengan mengeluarkan pendapatnya seperti itu di dalam kelas, berarti dia sudah nasionalis?

Taukah bu, pengertian dari nasionalisme? Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal. 

6. Masih soal Gus Dur, saya juga ingat bagaimana dia mengartikan seorang Muslim. Buat beliau seorang muslim adalah yang menerapkan nilai-nilai dan etika Islam yang ditujukan untuk mewujudkan kebaikan bersama dan keadilan di tengah masyarakat. Bukan muslim yang hanya menonjolkan simbol-simbol Islam, tetapi jauh dari nilai dan etika Islam rahmatan lil 'alamin.

Gus Dur juga sempat menyampaikan hal seperti ini "Karena itu, kita harus berhati-hati jangan sampai agama jadi alat politik. Partai politik berdasar agama boleh-boleh saja. Tetapi partai politik harus mendasarkan programnya  pada kepentingan nyata masyarakat. Bukan pada ajaran agama yang resmi. Jadi agama dalam pelaksanaanya bukan dalam perumusannya”

7. Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan

Ibu Dosen yang terhormat, yang sangat saya kasihi. Saya sepakat bahwa kita semua jangan sampai memilih pemimpin yang bukan Muslim, karena sesuai dengan penuturan Bapak Gus Dur, sangat jelas kalau seorang Muslim adalah seorang yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan etika baik yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama dan keadilan di tengah masyarakat. Seorang Muslim dalam pernyataan Gus Dur ini sejalan dengan Pancasila kita bu.

Ibu Dosen akan jauh lebih saya hormati apabila ibu dapat menjelaskan dengan akhlak ibu mengenai pengertian Muslim seperti yang dilakukan oleh Bapak Gus Dur. Sehingga kami di dalam kelas itu mengetahui dengan jelas seperti apa seorang Muslim itu, lalu kami juga bisa bertindak bijaksana. Itu baru namanya mendidik bu.

Jangan tanamkan pikiran-pikiran yang nantinya akan membuat kami mengkotakkan diri kami, hal itu berbahaya bu bagi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika kita bu. Kita ini Indonesia bu, INDONESIA bu.

Bu, bukan maksud saya mengajarkan ibu soal Indonesia atau agama bu.Siapa saya bu? Saya hanya seorang murid. Saya hanya kecewa, kenapa kita tidak dapat berdebat dengan pintar di dalam kelas ibu. Ini hanya ungkapan kekecewaan saya bu. 

Ini juga bukan cuma soal cagub DKI Jakarta. Saya bahkan belum memihak kepada pasangan calon bu. Sekali lagi ini hanya soal kekecewaan saya bahwa seharusnya perdebatan antar kaum berpendidikan lebih luas dibandingkan seperti itu bu. 

Sudikah Ibu Dosen mendidik kami menjadi pemuda yang lebih Indonesia, lebih Pancasilais, lebih kritis, lebih memandang segala sesuatu dengan hati dan akhlak yang baik dan semuanya lebih baik lagi untuk hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia bu? Tolong didiklah kami sebenar-benarnya bu..


salam,
Mahasiswa mu yang kecewa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAKI-LAKI YANG BERSELINGKUH JUGA HARUS DILABELI

Ah Ayah!

HAHAHA